"Jadi orang jangan terlalu baik, nanti dimanfaatkan orang lain!" Pernahkah kita mendengar kata-kata itu? Nasihat atau petuah untuk tidak bersikap terlalu baik. Saya sering mendengarnya, bahkan terkadang bisa dibilang bodoh, kalau terlalu baik.
Baik itu perlu, namun hikmat juga diperlukan untuk mengimbanginya. Di bulan puasa ini, banyak pengemis di jalan-jalan. Kadang kita butuh hikmat juga untuk membantu mana yang benar-benar perlu dibantu, dan mana yang tidak. Ada yang hanya berpura-pura lumpuh atau cacat, tetapi sebenarnya mereka normal. Mereka melakukan hal-hal semacam itu untuk mencari uang lebih, sehingga orang benar-benar merasa kasihan. Ada beberapa kasus, dimana pengemis itu ternyata memiliki rumah yang besar, tabungan yang banyak, kendaraan yang cukup mewah. Mungkin bisa dikatakan kondisinya melebihi yang memberi sumbangan atau sedekah. Sepertinya kita merasa hal yang dilakukan adalah salah sasaran? Apa benar seperti itu?
Saya selalu menganut prinsip, orang yang memberi biasanya lebih kaya daripada yang menerima. Ketika seseorang memposisikan dirinya adalah orang yang patut dikasihani, berarti dia adalah orang miskin yang sesungguhnya, walaupun mungkin mobilnya banyak, rumahnya besar. Ketika memberi, sudah sepatutnya kita tidak menerapkan untung rugi, melainkan keikhlasan. Ikhlas dalam memberi. Karena itu, kalau saya merasa tidak yakin, atau belum ikhlas saya tidak akan memberi (apapun bentuknya, waktu, materi, tenaga, dsb). Dan, ketika saya sudah ikhlas atau rela, maka melakukan atau menjalankannya pun enak rasanya.
Kalau bicara kerugian, saya bukan orang yang tidak pernah rugi, banyak hal, dimana saya berinvestasi yang salah baik, uang, waktu, tenaga, pikiran, dll. Namun karena saya menjalankan dengan ikhlas, saya tidak memusingkan untung ruginya. Hidup kalau selalu untung, kita tidak pernah belajar yang namanya kerugian. Jadi memberi bukan soal untung atau rugi, melainkan keikhlasan.(AYS)
Baik itu perlu, namun hikmat juga diperlukan untuk mengimbanginya. Di bulan puasa ini, banyak pengemis di jalan-jalan. Kadang kita butuh hikmat juga untuk membantu mana yang benar-benar perlu dibantu, dan mana yang tidak. Ada yang hanya berpura-pura lumpuh atau cacat, tetapi sebenarnya mereka normal. Mereka melakukan hal-hal semacam itu untuk mencari uang lebih, sehingga orang benar-benar merasa kasihan. Ada beberapa kasus, dimana pengemis itu ternyata memiliki rumah yang besar, tabungan yang banyak, kendaraan yang cukup mewah. Mungkin bisa dikatakan kondisinya melebihi yang memberi sumbangan atau sedekah. Sepertinya kita merasa hal yang dilakukan adalah salah sasaran? Apa benar seperti itu?
Saya selalu menganut prinsip, orang yang memberi biasanya lebih kaya daripada yang menerima. Ketika seseorang memposisikan dirinya adalah orang yang patut dikasihani, berarti dia adalah orang miskin yang sesungguhnya, walaupun mungkin mobilnya banyak, rumahnya besar. Ketika memberi, sudah sepatutnya kita tidak menerapkan untung rugi, melainkan keikhlasan. Ikhlas dalam memberi. Karena itu, kalau saya merasa tidak yakin, atau belum ikhlas saya tidak akan memberi (apapun bentuknya, waktu, materi, tenaga, dsb). Dan, ketika saya sudah ikhlas atau rela, maka melakukan atau menjalankannya pun enak rasanya.
Kalau bicara kerugian, saya bukan orang yang tidak pernah rugi, banyak hal, dimana saya berinvestasi yang salah baik, uang, waktu, tenaga, pikiran, dll. Namun karena saya menjalankan dengan ikhlas, saya tidak memusingkan untung ruginya. Hidup kalau selalu untung, kita tidak pernah belajar yang namanya kerugian. Jadi memberi bukan soal untung atau rugi, melainkan keikhlasan.(AYS)
No comments:
Post a Comment