Apa yang ada dalam pikiran kita, saat mendengar kata sempurna ? Pastinya sesuatu yang tidak bercacat cela, sesuatu yang sangat baik, tepat, dan tujuan akhir. Tujuan akhir ? Ya. Pertanyaannya, "Siapa yang tidak ingin sempurna ? " Hidup pun kalau bisa "terlihat " sempurna akan lebih indah. Saya menggunakan kata terlihat, karena saya percaya dalam hidup tidak ada sesuatu yang benar-benar sempurna. Selama kita masih hidup di dunia yang fana ini, pasti ada saja cacat dan celanya, ada saja kekurangannya.
Bahkan sebut saja orang terkaya di dunia, Jeff Bezos (founder of Amazon) atau Bill Gates, kalau ditanyakan, apa mereka sudah merasa sempurna? Jawabannya kurang lebih belum. Pasti ada hal-hal baru yang ingin dicapai, atau ada sesuatu dalam hidup mereka yang ingin diperbaiki ke depannya. Dan hal itu tidak salah, karena itu adalah gairah hidup, hal-hal yang membuat kita terus bersemangat dalam kehidupan, dan tidak mudah puas diri.
Lalu apa standarisasi kesempurnaan? Setiap orang pasti memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Bagi sebagian orang mempunyai satu rumah, satu mobil, satu istri dan anak-anak itu adalah kesempurnaan. Namun bagi sebagian orang lainnya kesempurnaan tidak sampai di situ saja. Ada keinginan yang lebih untuk mendapatkan hasrat hatinya. Dan standarisasi kesempurnaan bisa berubah seiring dengan perubahan pada status ekonomi ataupun sosial di masyarakat.
Pada beberapa orang tua, ada orang tua yang sudah bahagia bila anaknya naik kelas. Ada juga yang baru bisa bahagia kalau anaknya mendapat nilai dia atas rata-rata. Di sisi lain, ada pula yang baru bisa sangat bahagia bila anaknya juara 1, kalau tidak juara 1 tidak terasa sempurna.
Kalau diumpamakan sempurna itu angka 100, maka nilai anak kalau tidak 100 berarti belum sempurna. Kadang sebagai orang tua, lupa untuk menilai diri sendiri. Sudahkah kita menjadi orang tua dengan nilai 100 untuk anak kita? Bagaimana anak-anak menilai orang tuanya, apakah orang tua siap jika anak harus menilai kesempurnaan hanya dari angka-angka.
Beberapa anak sangat buruk di bidang akademis, tetapi sangat berbakat di bidang lainnya. Atau sebaliknya, seorang anak bisa sangat unggul di akademis, namun kurang bagus di bidang lain. Lalu apakah berarti anak ini tidak bisa mencapai kesempurnaan?
Manusia seringkali menciptakan ukuran kesempurnaan adalah dirinya (bisa jadi tanpa disadari)." Kamu nanti kalau sudah besar masuk universitas X, seperti daddy ya. Daddy saja bisa, masak kamu ga bisa ? " Mami kan, dulu ga pernah diajarin sama oma masak, mami udah bisa sendiri, kamu juga begitu dong." Mami kalau kerja rapi, ga pernah berantakan, kamu kok kerja berantakan banget sih." Ini hanya contoh perkataan-perkataan yang mungkin secara tidak sadar diungkapkan kepada anak, dengan keharusan seorang anak menjadi seperti sosok orang tuanya. Padahal, belum tentu si Ayah masuk universitas X, anaknya pun harus masuk universitas yang sama, kalau universitas tersebut tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, hanya akan sia-sia. Begitu juga, belum tentu si anak akan menjadi ibu rumah tangga full time seperti ibunya. Kalau situasi dibiarkan terus-menerus seperti itu, anak sendiri akan stress, dalam tekanan, atau sebaliknya dia akan berontak terhadap keadaan.
Sama halnya dengan di kantor, ketika kita mendapat boss yang standar kesempurnaan adalah sosok boss tersebut. Apapun yang kita lakukan akan salah di mata boss, bila tidak tepat sesuai apa yang boss inginkan. Tidak ada kreativitas, yang ada hanyalah penundukan diri. Tidak ada pengembangan diri, yang ada hanya kebenaran dari kacamata boss.
Jadi menurut saya, kesempurnaan itu tidak ada, itu buatan manusia, standarisasi tiap-tiap orang dalam menilai, yang bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Lalu kenapa Tuhan itu disebut sempurna? Karena hanya Dia, sosok, yang bisa menerima setiap perbedaan, menerima setiap kekurangan, dan mengasihi setiap orang dengan cara yang unik. (AYS)